Sumber: Kompas.
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika kerap kali menjadi
momok menakutkan bagi para siswa. Namun, Kamarudin mampu menjadikan
siswa senang, malah dengan santai, mempelajarinya, khususnya murid kelas
rendah: kelas I, II, dan III sekolah dasar.
Caranya, Kepala Sekolah Dasar Nomor 1 Kenawa, Desa Kenawa, Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat, ini membuat alat peraga yang disebutnya
Blok/Petak Bilangan. Saya mencoba membuat alat peraga ini dengan
mengombinasikan antara belajar dan bermain, tutur Kamarudin (45), ayah
dari enam anak hasil pernikahannya dengan Hayatun itu.
Alat peraga itu amat sederhana. Papan tripleks dilubangi sedemikian
rupa berbentuk persegi. Kemudian ada sejumlah potongan papan seukuran
panjang dan lebar bidang papan yang dilubangi tadi yang bergambar pohon,
buah, ikan, kelereng, bola, wayang, dan lainnya di satu sisinya dan
angka-angka di sisi lainnya.
Papan ukuran kecil itu ada yang diberi engsel atau isolasi biar bisa
dilipat sehingga gambar pohon, buah dan angka, dan lainnya sebagai unsur
untuk menambah-mengurangi bisa langsung ditunjukkan kepada siswa.
Bolongan-bolongan tersebut dimaksudkan agar potongan papan bergambar
itu bisa dikeluar-masukkan pada lubang bidang papan tersebut. Di bagian
paling atas bidang papan terdapat lubang yang ukuran sama untuk wadah
hasil akhir (jumlah) dari menambah dan mengurangi bilangan. Sedangkan
gambar-gambar dan angka-angka masing-masing pada bagian kiri dan kanan
bidang papan.
Dengan alat peraga ini, siswa kelas I, II, dan III SD, bahkan murid
taman kanan-kanak, akan lebih mudah mengenal huruf, angka, dan
bercerita. Siswa pun bisa belajar menulis karena di atas papan bergambar
itu dilengkapi kertas maupun plastik transparan, tinggal mengikuti
bentuk-bentuk huruf dan angka.
Cara ini mengganti metode menulis di udara, atau siswa diajak
membayangkan angka dan huruf dalam udara, yang sebelumnya diajarkan
kepada siswa. Alat peraga ini juga tidak menimbulkan ketakutan siswa
untuk belajar Matematika karena mereka serasa diajak bermain.
Ketakutan terhadap mata pelajaran Matematika lebih disebabkan
kurangnya peran guru dalam memahami kemudian mengembangkan konsep dasar
pelajaran berhitung. Misalnya, 2 x (kali) 2 = 4, oleh guru dinyatakan
dalam bentuk hafalan. Mestinya, hasil itu dijabarkan prosesnya sehingga
siswa mengerti perolehan angka empat dari perkalian tadi.
Ikut lomba
Ide membuat alat peraga itu didasari pengalaman mengajar di berbagai
SD. Dia melihat kondisi memprihatinkan para siswa kelas V-VI yang tidak
paham menambah dan mengurangi, apalagi membagi dan mengalikan
angka-angka. Kamarudin berpikir keras untuk mengatasi persoalan itu.
Kebetulan saat itu, tahun 1980-an, dia diutus mengikuti penataran alat
peraga di Balai Pelatihan Guru Mataram. Dari sekitar 90 peserta (guru),
dengan karya Blok/Petak Bilangan, ia dinyatakan lulusan terbaik.
Pada tahun yang sama, Kamarudin ikut lomba alat peraga tingkat
nasional di Cipayung, Bogor. Saya pilih ikut lomba peraga Matematika
mengingat banyak guru IPA di NTB mahir membuat alat peraga, tuturnya.
Dalam tempo dua minggu sebelum lomba dimulai, Kamarudin mengumpulkan
bahan-bahan dan deskripsi alat peraga. Sebelumnya, nyalinya sempat kecut
mengingat alat peraga yang dirancang peserta sejumlah provinsi sangat
baik.
Namun, Kamarudin dengan percaya diri mempresentasikan alat peraga di
hadapan tim penguji Balitbang Departemen Pendidikan Nasional. Rupanya
karya cipta Kamarudin menarik perhatian tim penguji sebab waktu untuk
presentasi dibatasi 30 menit, dan saat dia diuji waktu diulurkan menjadi
45 menit, bahkan tim penguji memuji karyanya.
Rupanya pujian dan bonus waktu tadi sebuah pertanda awal sebuah
keberhasilan. Alat peraga bikinannya, yang dirasakan nyaris tidak
menimbulkan kekaguman kalangan peserta, justru menduduki urutan terbaik.
Setelah itu, alat peraganya diuji di sebuah SD di Cipayung, dengan
hasil tidak beda jauh saat proses uji pada siswa kelas rendah di
Kecamatan Kopang, yaitu dengan tingkat keberhasilan 75-95 persen
masing-masing untuk siswa SD pedesaan dan perkotaan.
Sayang alat peraga itu, yang kalau dibuat lengkap memerlukan biaya Rp
500.000 satu set, belum bisa diproduksi massal karena gaji guru
golongan IIID ini hanya cukup untuk menyambung hidup. Pernah memang dua
perusahaan di Jakarta bersedia memproduksinya, bahkan diperkuat
penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding) segala.
Namun, kontrak kerja itu tak pernah terwujudkan sampai kini.
Dengan alat peraga itu, hanya satu keinginan Kamarudin, Yang penting
siswa kelas I, II, dan III lebih mudah belajar membaca, menulis, dan
berhitung. Itu saja. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar